Aku tancapkan kunci dan kuakkan pintu itu tergesa-gesa. Macet. Tidak beringsut. Hanya anak-anak kunci lain yang ber goyang berdenting-denting. Aku lorotkan ransel tambunku yang seberat batu ke lantai, lalu aku miringkan badan dan aku sorong pintu ini dengan bahu. Bruk.
Daun pintu tripleks ber cat biru muara itu akhirnya bergeser dengan bunyi terseret. Engselnya merengek kurang minyak. Entah mengapa, di setiap ka mar kos yang aku pernah sewa di kota ini, ukuran rangka dan daun pintu jarang yang klop.
Aroma lembap seperti bau timbunan koran basah mengeru buti hidungku begitu pintu menganga. Di tengah gelap, tangan ku mencari-cari sakelar di pojok kamar. Bohlam usang itu me ngerjap-ngerjap beberapa kali seperti baru siuman dan lalu ber sinar malas-malasan, bagai protes minta diganti. Di bawah si nar lindap, aku melihat kamarku masih persis seperti waktu aku tinggalkan.
Dipan kayu dengan kasur busa yang kisut bersan ding dengan seonggok lemari plastik motif bunga anyelir ungu yang sudah doyong ke kiri. Di sebelah pintu tegak sebuah rak buku kelebihan beban dari kayu murahan, made in Balubur.
”Assalamualaikum, ketemu lagi kita,” sapaku iseng ke seisi ka mar. Tentulah tidak ada yang menjawab karena semua benda mati. Namun tiba-tiba aku meloncat kaget. Entah dari mana datangnya, bagai menjawab salamku, dua makhluk hitam ber bulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.