Agnes Jessica - Piano di Kotak Kaca |
Plakkk! Terdengar suara perempuan menangis lalu terdengar suara benda jatuh.
"Kau pikir aku tidak mau? Ya, kita cerai saja!"
Sheila menutup kupingnya dengan tangan erat-erat. Matanya terpejam lalu dari sela-sela bulu
matanya mengalir air mata. Selalu begini tiap hari. Apa mereka tidak memikirkannya?
Pernahkah mereka memikirkannya barang sebentar? Pernahkah mereka berpikir bahwa ini
menyakitkan? Suara-suara ribut seperti ini bagai mengimpit jiwanya sampai ia mau mati rasanya.
Itu suara pertengkaran orangtuanya. Sheila cuma remaja yang berusia lima belas tahun yang
mestinya belum mengerti apa-apa. Satu-satunya yang dapat ia pelajari dari hubungan ayah dan
ibunya hanyalah perselisihan. Bisa saja ibunya berdalih bahwa ia terlalu muda ketika ia menikah
dengan ayahnya dulu, baru genap tujuh belas tahun usianya. Bisa saja ayahnya berdalih bahwa ia
salah memilih istri, yang selalu membuat marah suami. Tapi apakah mereka pernah berpikir
bahwa pernikahan mereka telah melahirkan dirinya? Lalu apa dirinya? Ia pasti bukan buah cinta
seperti yang di sebut-sebut pemain sinetron ketika menyebut anak. Ia adalah buah dari hubungan
yang tak diharapkan, hubungan tanpa cinta.
"Aaaaaaa!!!!" terdengar teriakan lagi.
Sheila mengetatkan lagi telapak tangannya di telinga, tapi suara-suara itu masih saja terdengar.
Itu pasti suara ibunya, berteriak karena dipukul ayahnya. Mereka bahkan tak pernah mencoba
untuk membuat pertengkaran ini tak didengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.