Daulah Utsmaniyah mengalami fase-fase pasang maupun surut sebagaimana kekuasaan politik lainnya. Hanya saja, perjalanan sejarah Daulah Utsmaniyah memiliki banyak alasan penting untuk dikaji, di antaranya karena daulah ini dianggap sebagai khilafah islamiyah yang terakhir dan terpanjang umur kekuasaannya.
Khilafah Utsmaniyah telah melakukan pekerjaan-pekerjaan mulia yang dipersembahkannya untuk umat ini, seperti menjaga tempat-tempat suci Islam dari rencana-rencana stratejik salibis Portugal, membantu para penduduk Afrika Utara melawan serangan-serangan salibis Spanyol, dan yang lainnya. Khilafah Utsmaniyah juga berhasil membentuk persatuan Dunia Islam di antara pemerintahan-pemerintahan Arab, menjauhkan serbuan penjajahan dari wilayah-wilayah Syam, Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya, mencegah penyebaran Syiah ke wilayah-wilayah Islam yang berada di bawah kekuasaannya, mencegah Yahudi dari menduduki Palestina, serta peranannya dalam menyebarkan Islam di Eropa.
Namun, penting juga dipelajari sisi-sisi negatif yang melingkupi Khilafah Utsmaniyah sehingga berpengaruh dalam melemahkan pemerintahan, seperti pengabaian terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an dan Al-Hadits pada masa-masa akhir kekuasaannya, kurangnya kesadaran terhadap pemahaman Islam yang benar, melenceng dari syariat Allah, dan terpengaruhnya Utsmaniyah oleh propaganda westernisasi.
Kelemahan ekonomi, sains, agama, dan sosial serta moral, mengakibatkan kemunduran politik dan militer Daulah Utsmaniyah. Sebagai konsekuensinya, jihad pun ditinggalkan.
Kelemahan ekonomi. Keberhasilan Portugal dan Spanyol untuk menemukan jalan perdagangan dunia ke Asia telah menjadi titik awal kebangkitan ekonomi Eropa. Mereka berhasil merebut rute, pangsa pasar dan sumber bahan baku perdagangan dunia. Usaha mereka semakin mengakar kuat dengan keberhasilan mereka menjajah dan memonopoli kekayaan Dunia Islam yang sangat kaya. Hal ini mengakibatkan kemiskinan dan kemunduran ekonomi yang berat di Dunia Islam.
Daulah Utsmaniyah juga mempunyai utang luar negeri yang sangat besar. Hal ini mendorong sejumlah negara Eropa untuk merebut beberapa pulau penting lain sehingga memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menuruti segala tekanan ekonomi mereka.
Kelemahan sains dan agama. Dalam belenggu kehidupan akidah Murji’ah dan tarekat Sufi, dinilai wajar bila umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang parah dalam aspek agama dan sains.
Kelemahan sosial dan moral. Dekadensi moral yang sangat parah telah menggejala di seantero Dunia Islam. Penyalahgunaan harta wakaf untuk kepentingan memperkaya para pegawai wakaf, menjamurnya warung-warung khamar, rumah-rumah judi dan pelacuran —Husain bin Muhammad Nashif bahkan menyebutkan kota suci Makkah telah ramai dengan warung-warung minuman keras dan pelacuran— serta tenggelamnya masyarakat dalam musik, nyanyian, dan aneka ragam kebejatan moral lainnya menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat.
Berbagai akhlak mulia sudah dianggap sebagai sebuah tradisi kuno, kering dari nilai-nilai keimanan dan setiap saat bisa ditinggalkan dengan alasan kemajuan zaman. Jilbab yang menjadi busana Muslimah, misalnya, telah dianggap sebagai sekedar budaya setempat, dan manakala penjajah salibis Eropa datang dengan emansipasi wanitanya, dengan serta merta banyak yang melepaskan jilbabnya.
Kemerosotan internal sejalan dengan penjelasan Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya tentang teori keruntuhan peradaban. Menurutnya, faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif, tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha.
“Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berpikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba,” kata Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun melanjutkan, “Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat, yang akibatnya merembes kepada elite penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya sumberdaya manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanisme rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktivitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan sains dan keterampilan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.