Pagi itu, suara klakson dari rangkaian besi panjang telah terdengar, tanda akan segera datang dan bersiap mengangkut mereka para pejuang. Pejuang bagi diri sendiri, keluarga, maupun bagi orang banyak yang memang membutuhkannya. Pagi itu mentari belum terlihat sempurna, sebagian sinarnya tertutup awan gelap yang membuat setiap orang berprediksi bahwa hari itu akan turun hujan deras. Pukul enam lebih sepuluh menit.
Di pojok peron stasiun Pondok Ranji, ia berdiri.Tempat yang tidak pernah berubah sejak setahun empat bulan lalu. Deretan manusia lainnya perlahan mulai berdiri melewati batas garis aman, memasang kuda-kuda, berharap mereka dapat menembus pagar betis yang telah siap menangkal mereka yang akan masuk ke dalam.
Mereka, para penumpang di stasiun Pondok Ranji, sudah tidak peduli dengan teriakan petugas yang tidak hentihentinya mengingatkan untuk tidak melewati batas garis aman. Bagi mereka, bisa menerobos masuk ke dalam kereta merupakan awal perjuangan yang harus dilakukan setiap pagi
“Perhatikan di jalur dua, dipersiapkan masuk kereta tujuan Tanah Abang. Bagi para penumpang diharapkan tidak melewati batas garis aman. Dihimbau juga kepada para penumpang untuk tidak saling mendorong dan tetaplah jaga keselamatan Anda!”
Aksi film Matriks pun dimulai. Begitu pintu gerbong terbuka, sekejap setiap orang mendorong diri mereka sendiri dan orang lain, berusaha memaksa tubuh mereka, setidaknya sebagian dari tubuh mereka masuk ke dalam kereta. Pagar betis itu pun luluh lantak. Drama perjuangan yang sudah biasa dinikmati setiap hari oleh seluruh penumpang kereta. Perjuangan bagaimana anak-anak manusia mengejar impian mereka. Mengais rezeki dari Tuhannya. Berharap mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya.
Judul : Biru
Karya : Hilma Trisnanda
Download : Biru.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.