Rabu, 31 Mei 2017

Novel Khadijah Ketika Rahasia Mim Tersingkap - Sibel Eraslan


Para ilsuf, seandainya tahu untuk mendaki gunung terjal harus mendaki jalan setapak dan menanjak, akankah saya tetap pergi ke Heidelberg? Setelah kuinjak-injak jutaan dedaunan yang terbakar, bersandar pada batu nisan Holderlin yang telah penuh dengan lumut, seraya kutanyakan pada ruh syair yang sudah tua renta itu; benarkah apa yang engkau katakan kalau puisi adalah hal yang paling maksum di dunia? Mengapa kemaksuman harus digubah di puncak gunung yang sulit dan curam rimanya. (Heidelberg, 2008)

Seusai salat Subuh, rasa kantuk masih menyerang mataku. Berdasarkan apa yang kulihat di peta lama, hotel tempat tinggalku terletak di perkampungan Bani Hasyim yang bermukim di sini sekitar 1500 tahun lalu. Aku sengaja membiarkan pintu jendela sedikit terbuka agar saat tertidur diriku bisa menyusup ke Mekah. Aku hanya tidur sebentar dan memang sering terbangun.


Terbangun oleh gemuruh suara  lautan. Namun, saat berlari ke arah jendela dan memandangi sekitar, ternyata suara lautan yang baru saja kudengar itu tidak pernah dapat kutemukan. Mungkinkah suara ombak-ombaknya yang seperti karpet tergulung yang digelar secara serentak itu hanya sebuah ilusi? Ataukah ini sebuah anugerah dan pertanda bagiku? Lagi pula, aku adalah seorang  pengembara.  Apa pun yang menjadi anugerah bagiku, aku harus menerimanya. Entah padang pasir... atau laut.

Aku lupa semua puisi yang telah kuketahui saat memasuki Kakbah. Kemarin, saat berlari di antara Safa dan Marwah, saudara wanitaku berkata, “Aku bangga sekali kepada Bunda Hajar.  Lihat saja, sejak ribuan tahun lalu semua  orang  mengikuti  larinya.”  Kakbah  terlihat  seperti samudra, tempat bermuaranya semua sungai yang ada. Percikan indah puisi dan lautan bagaikan kipas angin yang terpasang di dinding rumah Allah, dengan baling-balingnya yang usang dan enuh pedih berputar-putar.


Aku  pun tak  mampu  mengkhatamkan  al-Fatihah  sepanjang  tawaf. “Aku hanya bisa membaca sampai lafaz  Iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in.” Setelah membaca ayat itu, aku selalu saja terpaku. Kami pun menangis saat bersama-sama berdoa di Hijr Ismail. Kami seperti merasakan perjuangan, cinta, dan keimanan Bunda Hajar dan Khadijah  Menikmati  mereka sebagai guru yang mulia dan penuh kelembutan yang sedang memberikan pelajaran ke dalam ruh kami. Kami kembali mengenal dan bersaksi kepada Nabi Muhammad, utusan terakhir yang telah memberi contoh dengan kehidupan dan pengajaran Rabbaninya


Judul         : Ketika Rahasia Mim Tersingkap

Karya        : Sibel Eraslan

Download : Ketika Rahasia Mim Tersingkap.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Comments

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *